Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Rabu, 01 Oktober 2008

Bung Karno Itu Proaktif Demi Kebaikan Bersama

Oleh Hafis Azhari

Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno aktif membangkitkan kesadaran rakyat kepada hak-hak dan martabatnya sebagai manusia utuh dan hakiki. Bahkan selama bertahun-tahun ia menulis di berbagai suratkabar tentang fenomena manusia sebagai pejuang sekaligus makhluk spiritual, karenanya ia merasa terpanggil untuk mengarahkan para sahabat seperjuangan agar memahami hakekat manusia Indonesia, serta apa fungsi keberadaan dirinya di dunia ini.


Bung Karno mengajarkan kita agar bercita-cita setinggi langit, namun juga memperingatkan agar kita berhati-hati pada obsesi dan ambisi berlebihan yang dapat menggelincirkan kita ke dalam kesombongan. Ia mengajarkan bahwa setiap kita adalah pemimpin yang harus bertanggungjawab kepada apa-apa yang dipimpinnya. Meskipun ia belum sempat menulis banyak tentang seluk-beluk perkembangan Islam, namun ia fasih menangkap substansi dari pejuangan Muhammad, bahkan menguasai detil-detil perjalanan historis dari pengalaman religiositas pemimpin muslim dunia itu.

Secara implisit ia menyatakan agar bangsa Indonesia memiliki spirit dan roh perjuangan, seakan-akan tetap hidup selama seribu tahun, namun juga kita harus berpegang pada kekuatan Tauhid, seakan-akan besok kita telah tiada. Bung Karno bahkan memiliki konsep yang sangat mendasar tentang prinsip-prinsip konflik, bahwa dalam hidup ini, jangankan membunuh seekor semut atau cacing, bahkan membunuh manusia pun bisa dibenarkan bila disertai alasan yang benar. Namun sebaliknya ia memiliki prinsip-prinsip harmoni yang merupakan puncak religiositas yang universal: jangankan membunuh satu orang manusia, bahkan membunuh seekor semut dan cacing pun tak bisa dibenarkan bila tidak disertai alasan yang benar.

Bung Karno bukanlah pemimpin yang mudah terjebak kepada kepercayaan pantheisme dan monisme (kebatinan Jawa) yang membahayakan, bahkan ia rela berkorban untuk bersikap pro-aktif kepada rakyat yang dicintainya. Biarpun banyak urusan yang harus diselesaikan, ia mampu memilah-milah persoalan prinsipil demi tegaknya perjuangan keadilan. Ia paham dan tak mau tepancing untuk menyibukkan diri dalam soal-soal yang bukan wilayah substansial, hingga apa-apa yang dituliskan dengan sendirnya menjadi paralel dengan roh-roh tindakan, ucapan dan amal perjuangannya.

Ia menolak konsep kekuasaan dunia yang memelihara sikap jaga-gengsi, seakan-akan pasif menunggu nasib berdasarkan pesan-pesan wangsit dan primbon ramalan. Karenanya ia mau mengajak bicara kepada rakyat yang dicintainya. Meskipun ia paham konsep kebatinan Jawa, namun ia sanggup menyerapnya bahkan mengendalikan-diri untuk menolak cara-cara yang sifatnya menipu, mengelabui, atau mengambil keuntungan sepihak dari rakyat yang dipimpinnya.

Belum genap 40 tahun Bung Karno cukup gigih berinteraksi ke tengah para sahabat dan rakyatnya, serta mengkonfrontasikan pandangan hidup tentang hakekat kebenaran, meski tidak sedikit dari mereka yang masih dangkal kekanak-kanakan, namun Bung Karno tetap memandangnya dengan bijak, sebagai bagian dari potensi-potensi nasional yang terus berproses, dan diarahkan kepada kematangan dan kedewasaannya.Tanpa pandang bulu Bung Karno berhasil merangkul semuanya dengan tulus-ikhlas, hingga sebagian masyarakat animisme dan polytheisme yang bertebaran di republk ini, tak merasa tersakiti bila Bung Karno bicara tentang kebenaran Tauhid (monotheisme). Bahkan mereka menyambut baik tulisan-tulisan Bung Karno di “Pandji Islam” yang fasih menggugat fenomena takhyul dan syirik, mengenai dewa-dewi dan benda-benda pusaka yang dinilainya tak memilki kekuatan apapun untuk mencelakakan dan memberi manfaat, kecuali atas izin Allah semata.

Dengan kematangan dan kedewasaannya Bung Karno tak merasa perlu untuk banyak berdebat menghabiskan waktu, terutama mengenai pandangan-pandangan takhyul yang sontoloyo itu, namun cukulah dilihat sebagai bagian dari pesepsi kebanyakan manusia Indonesia akan Sang Pencipta, yang justru perlu dikendalikan dan dirumuskan kepada arah monotheisme yang baik dan terarah. Sebaliknya Bung Barno pun sadar akan adanya kekuatan-kekuatan intelektual yang menempuh pemikiran keliru dengan memihak fasisme Hitler, hingga tak segan-segan mengingatkan mereka agar bangsa ini tak selayaknya menempuh “jalan pintas” dengan mengadakan reaksi-balik yang tidak bertanggungjawab. Bagi BungKarno ada wilayah abu-abu dalam hidup ini, yang tak perlu serta-merta diklaim sebagai hitam belaka, namun sepatutnya kita memandang sebagai manusia sakit atau belum paham kebenaran, hingga kita bertugas untuk membangkitkan dan mencerdaskannya dengan penuh kesabaran.

***

Tulisan-tulisan Bung Karno mengalir begitu jernih dan indah, di tengah badai prahara jaman yang tak menentu dan penuh kedengkian. Gaya hidupnya yang sederhana dan bersahaja, tentu mempengaruhi gaya bahasa yang melucur begitu fasih, enak dinikmati, begitu tenang dan mendalam. Ia menolak segala hal yang bersifat dangkal dan urik belaka, yang tentunya berbeda dengan karya-karya yang tercetus dari para pemabuk dan pengganja yang hanya bernilai semu, serta mudah terhempas oleh dialektika ruang dan waktu, atau pergantian dan pergelutan jaman.

Demikianlah hingga para penjajah bangsa dan negeri ini semakin merasa ada getaran perubahan dan permushan yang menyusupi pikiran dan ide-ide manusia Indonesia. Secara terang-terangan mereka menuduh Bung Karno dan kawan-kawan selaku “Gerakan Pengaco Keamanan” yang memprovokasi bangkitnya kesadaran rakyat. Selama itu mereka berhasil melumpuhkan ideologi rakyat dengan mengkampanyekan “Politik Ketakutan”, lantas siapa gerangan yang tiba-tiba muncul, serta menumbuhkan benih-benih kejantanan dan keberanian yang menggerogoti dinasti agung yang makin sekarat itu?Sepak-tejang Bung Karno terus saja menaruh sikap sentimen dan curiga bagi mereka. Maka harus dicari-cari alasan untuk membenarkan tuduhan sebagai pelaku makar yang subversif, sebab kalau dibiarkan merajalela akan terjadi keresahan dan kegoncangan yang mengusik stabilitas negeri. Dengan demikian perjuangan pun semakin meruncing: apa alasan bagi mereka untuk menuduh Soekarno sebagai biang keladi makar yang perlu disingkirkan? Apakah dengan mengungkap konsep “Tauhid” yang menggerakkan persatuan dan kesatuan itu yang membuat mereka resah dan gundah-gulana? Apakah dengan mengumandangkan tegaknya keadilan yang membuat mereka menuduhnya sebagai “Gerakan Pengaco Keaananan”?

Pihak penjajah semakin mebaca adanya kekuatan sinyal yang dipancarkan, yakni suatu gerakan yang membongkar “memori kolektif” yang dikhawatirkan tumbuhnya daya nalar dan kecerdasan rakyat. Bagi mereka cukup beralasan untuk mencari-cari kesalahan dan mengasingkan Bung Karno ke tempat-tempat terpencil yang membuatnya tak sanggup berkomunikasi dengan khalayak umum. Mereka tak menyadari bahwa Bung Karno adalah sosok manusia langka yang terus berproses dan berproses terus mengikuti gerak arus dinamika jaman. Jangankan sekadar diasingkan ke pulau terpencil, bahkan dilempar ke akherat pun seorang pejuang akan tetap hidup dan abadi menyuarakan kebenaran dan keadilan yang makin berbuah matang. Bahkan kematian dapat dibilang sebenar-benarnya “hidup” bagi sang pejuang yang pantang menyerah, yang justru bisa memunculkan Soekarno-Soekarno baru yang semakin mengikuti jejak-langkah perjuangannya.

Pihak penjajah makin kerepotan melihat gejala-gejala aneh dari semangat anak-anak muda revolusioner yang menuntut kemedekaan. Mereka menunggu-nunggu kesempatan sekiranya Bung Karno dapat terpancing oleh berbagai tawaran dan bujuk-rayu agar ia merasa jera dan kapok. Bahkan berbagai pancingan yang mengusik emosi dan kejengkelan mambuat Bung Karno harus terampil mengendalikan diri, hingga semakin terasah kedewasaan dan kematangan pribadinya dengan baik.

Makin lama godaan dan gangguan itu makin keras dan serius. Bung Kano tegas-tegas mengumadangkan garis-pemisah antara kekuatan baik dan jahat. Maka perang bintang pun semakin tergelar. Agitasi dan propaganda semakin terbuka dari kedua belah pihak. Bung Karno bahkan menantang rakyat bahwa kemandirian dan kesedarhanaan hidup, jauh lebih baik daripada ketergantungan yang menjajah harga-diri dan martabat bangsa. Maka kebingungan identitas dan jati-diri bangsa diarahkan melalui pidato-pidato yang menghibur asas kesabaran dan semangat akan harapan masadepan yang gemilang. Hingga pro-kontra di kalangan rakyat sendiri semakin meruncing. Mereka yang memihak Bung Karno terpaksa harus berhadap-hadapan dengan mereka yang mendengki dan memusuhinya, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi.

Para orang tua betul-betul dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis, karena di satu sisi rayuan dan desakan pihak penjajah yang tak bisa dianggap remeh bagi kepentingan status quo, namun di sisi lain mereka membaca adanya kekuatan yang tersimpan pada diri Bung Karno, suatu rahasia yang menyimpan energi dahsyat yang menggetarkan kalbu, seakan-akan anak muda itu berteriak lantang:

“Biarpun matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud-maksud mereka hendak menghentikan prinsip dan perjuangan hidupku, aku tak akan berhenti sampai kapanpun, bahkan hingga mati sekalipun!!”

***

Propaganda buruk, kampanye hitam dan pembunuhan karakter semakin menjadi-jadi. Bung Karno dituduh sebagai orang sesat yang kafir dan diktator di satu sisi, sedangkan di sisi lain justru menganggap Bung Karno sebagai orang loyo, plin-plan dan gampang kompromi. Pada situasi yang paling menentukan, gong demokrasi terpimpin berkumandang. Seleksi alam terbentuk, identitas keindonesiaan harus mengkristal dengan baik. Bahkan Bung Karno cukup jelas menorehkan garis antara kawan dengan lawan. Mana yang berani menegakkan keadilan, dan mana yang senang menjadikan ketidakadilan sebagai motor perjuangannya.

Bagi Bung Karno, mereka yang hatinya sakit masih mungkin ditoleransi dan direhabilitasi, tapi bagi yang hatinya mati dan membeku (munafik) tak bisa ditoleransi lagi, karena yang menjadi roh perjuangannya sangat jelas: mereka berani berkorban dengan harta dan jiwanya, justru untuk menegakkan kejahatan dan kebatilan, serta menghalang-halangi manusia dari nilai-nilai kebaikan dan perbaikan. Di antara mereka tak sedikit yang berpretensi seakan-akan merekalah yang mengadakan pembangunan, sedangkan Bung Karno dituduh sebagai tukang onar dan koar-koar yang mengusik ketentraman warga.

Hal itu disadari betul oleh Bng Karno, bahwa inilah konsekuensi logis dari perjuangan revolusi bangsa, yang boleh jadi seseorang harus mengorbankan saudara dan keluarganya sendiri, bahkan konsep konflik pun harus dikedepankan selagi ia berfungsi demi tegaknya kebenaran dan keadilan bagi segenap rakyat.

Masalah ekonomi akhirnya menjadi perkara serius bagi pihak penjajah, hingga “politik pemiskinan” pun dikerahkan. Hak berusaha dan mencari nafkah semakin direcoki, perdagangan dan perkebunan semakin diusik dan diganggu, pungutan pajak dan upeti semakin menjadi-jadi. Bung Kano mengadakan inspeksi ke penjuru negeri, bahkan mengumumkan secara blak-blakan tentang ketimpangan antara upah buruh-petani daripada hasil-hasil usaha dan jerih-payah mereka. Eksploitasi dan monopoli oleh penguasa dalam negeri pun dipersoalkan secara serius pula.

Komando permusuhan dan adu-domba terus digulirkan pihak penjajah. Para sahabat Bung Karno dan orang-orang terdekat, ikut pula ditangkap dan dikucilkan ke pulau-pulau terpencil. Pemboikotan terus dikerahkan di mana-mana, bahkan perlakuan itu dianggap sah secara “konstitusional”, karena dilegitimasi pula oleh para penguasa dan pembesar di dalam negeri sendiri.

Tapi Bung Karno bukanah tipe pemuda revolusioner yang gampang memihak thesis, yang kemudian berbalik memihak anti-thesis. Pencarian kebenaran untuk menemukan benang-benang sinhesis terus digeluti dan ditelusuri. Intervensi kebaikan dan semangat sosialisme tak pernah luntur dari dirinya. Meskipun ia merasa terasing dari lingkungan dunianya namun hatinya tetap membara dalam situasi genting dan mencekam itu.

Dalam puncak-puncak emosi yang menggelora itu, rasa frustasi dan putus-asa terlalu kecil dan nihil bagi dirinya, meskipun duka dan lara atas nasib rakyat begitu mengiris-iris batinnya. Sebaliknya di pihak musuh justru nampak adanya roh dan semangat untuk menghinakan dan meremehkannya. Sorak-sorai kesombongan dan keangkuhan dari pihak penjajah, yang menganggap Bung Karno dan sahabatnya sudah kapok dan kehilangan roh perjuangannya. Para intelektual dan seniman, bahkan agamawan tak sedikit yang menjadi penyokong pihak komprador yang kasak-kusuk ke sana kemari mencari keuntungan pribadi. Mereka tega menciptakan karya dan kreasi keji untuk membikin citra buruk tentang Bung Karno dan sejarah revolusi Indonesia.

Seketika itu Bung Karno mencoba untuk mundur selangkah, hingga mereka makin menampik sorak-sorai kegirangan. Dalam keheningan dan kesendiriannya, Bung Karno duduk termenung, kemudian sesekali berbaring dengan pandangan menerawang memikirkan suatu rencana besar, bahwa cita-cita dan perjuangan kita harus berhaluan dan satu tujuan dengan kehendak dan rencana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Perkasa.

***

Dan akhirnya tak ada yang sia-sia dalam hidup ini. Setiap jengkal peristiwa mempunyai makna. Setiap persoalan mengandung tanda-tanda yang dirancang dalam skenario manusia sekaligus kehendak Tuhan. Bung Karno sudah menunjukkan teladan bapak-bangsa yang mencoba untuk terus melangkah dalam perjuangan, sepahit apapun. Niatnya sudah kukuh diluruskan, dan ikhtiar sudah dioptimalkan. Meskipun hasilnya berlapis-lapis kekeliruan dan betumpuk-tumpuk kegagalan, namun ia mencoba untuk bangkit dan bangkit lagi. Bolehlah sesekali ia menemui kekalahan, namun ta pernah ia mengenal kata menyerah, sebab kalah dan menyerah adalah dua persoalan yang berbeda. Tiap kali batu besar itu diangkatnya agar mencapai bukit, tiba-tiba ia terjatuh dan tersungkur lagi, hingga kemudian ia singsingkan lengan baju untuk kembali mengangkanya hingga berhasil mencapai ketinggian bukit yang paling puncak.

Dan kini Bung Karno dan para sahabatnya telah memberi teladan yang baik bagi cita-cita manusia Indonesia dan dunia, di mana perjalanan hidup dan perjuangan mereka telah tercatat dalam sejarah dan memori kolektif kita semua. Kemerdekaan telah kita raih, dan kita harus terus mewujudkannya hingga mencapai kematangan dan kedewasaannya. Mereka telah memberi pelajaran yang baik dan universal, bahwa bila kita menanam kebaikan pastilah akan memetik kebaikan pula, dan bagi mereka yang menanam kejahatan dan keburukan, mereka pun akan mendapat balasan dari apa-apa yang telah mereka usahakan.

Selamat berjuang!

0 komentar: